![]() | ![]() | ![]() |
(1181 - 1226) | St Katarina dari Sienna (1347-1380) | St Padre Pio dari Pietrelcina (1887-1968) |
Saya mengagumi St Padre Pio. Saya tahu ia dianugerahi stigmata, tetapi saya mengalami kesulitan dalam menjelaskan stigmata itu kepada teman-teman Protestan.
~ seorang pembaca di Manassas
Stigmata adalah tanda luka-luka Yesus yang tersalib, yang muncul secara tiba-tiba pada tubuh seseorang. Termasuk dalam tanda sengsara ini adalah luka-luka paku di kaki dan tangan, luka tombak di lambung, luka di kepala akibat mahkota duri, dan luka bilur-bilur penderaan di sekujur tubuh, teristimewa di punggung. Seorang stigmatis, yaitu orang yang menderita akibat stigmata, dapamemiliki satu, atau beberapa, atau bahkan semua tanda sengsara itu. Stigmata dapat kelihatan, dapat pula tidak kelihatan; dapat permanen, dapat pula sementara waktu saja.
Sebagian orang yang tidak percaya, akan menghubungkan tanda luka-luka yang demikian, yang muncul atas diri seseorang, dengan suatu penyakit atau bahkan dengan suatu kondisi psikologis tanpa memikirkan gagasan adikodrati. Tentu saja, Gereja juga pertama-tama berusaha memastikan bahwa luka-luka tersebut bukan berasal dari sebab-sebab alamiah, dan mencari bukti adikodrati guna membuktikan bahwa stigmata tersebut sungguh merupakan suatu tanda dari Tuhan. Gereja juga hendak memastikan bahwa stigmata tersebut bukanlah suatu tanda dari setan guna membangkitkan suatu kegemparan rohani yang menyesatkan orang banyak. Oleh sebab itu, karena stigmata merupakan suatu tanda persatuan dengan Tuhan kita yang tersalib, seorang yang benar-benar stigmatis haruslah hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan dengan gagah berani, tabah dalam menanggung penderitaan baik fisik maupun jiwa, dan hampir senantiasa mencapai tingkat persatuan ekstasis dengan-Nya dalam doa.
Tanda luka-luka dari stigmata yang benar itu sendiri juga berbeda dari luka-luka yang timbul akibat penyakit: Stigmata yang benar, sesuai dengan luka-luka Tuhan kita, sedangkan luka-luka yang timbul akibat penyakit akan muncul secara acak pada tubuh. Stigmata yang benar, mencucurkan darah teristimewa pada hari-hari di mana dikenangkan Sengsara Yesus (misalnya pada hari Jumat dan Jumat Agung), sementara luka-luka yang timbul akibat penyakit tidak demikian. Stigmata yang benar, memancarkan darah yang bersih serta murni, sedangkan yang timbul akibat penyakit memancarkan darah yang disertai nanah. Darah yang memancar dari stigmata yang benar, sekali waktu dapat terpancar dalam jumlah besar tanpa mencelakakan sang stigmatis, sedangkan yang berasal dari penyakit akan melemahkan orang secara serius hingga diperlukan transfusi darah. Stigmata yang benar, tak dapat disembuhkan baik melalui medis ataupun perawatan lainnya, sedangkan yang timbul akibat penyakit dapat disembuhkan. Yang terakhir, stigmata yang benar, muncul secara tiba-tiba, sedangkan yang timbul akibat penyakit muncul perlahan-lahan seturut periode waktu dan dapat dihubungkan dengan penyebab psikologis dan fisik yang utama.
Para stigmatis yang benar, mengalami keterkejutan atas munculnya stigmata. Tanda ini bukanlah sesuatu yang mereka “mohon dalam doa”. Terlebih lagi, dalam kerendahan hati, seringkali mereka berusaha menyembunyikannya agar tak menarik perhatian orang terhadap dirinya.
Stigmatis pertama “yang dinyatakan sah” adalah St Fransiskus dari Assisi 1181-1226). Pada bulan Agustus tahun 1224, ia dan beberapa biarawan Fransiskan lainnya mengadakan perjalanan ke Mount Alvernia di Umbria, dekat Assisi, untuk berdoa. Di sana, St Fransiskus memohon untuk diperkenankan ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus. Pada Pesta Salib Suci, 14 September 1224, St Fransiskus mendapat penglihatan: ia dipeluk oleh Yesus yang tersalib. Sengsara dari Jumat Agung yang pertama tercurah atas dirinya, dan ia menerima stigmata. St Fransiskus berusaha menyembunyikan tanda karunia ilahi ini dari yang lainnya, dengan membalut kedua tangannya dengan jubahnya dan mengenakan sepatu serta kaus kaki (yang tidak biasa ia lakukan). Lama-kelamaan, rekan-rekan biarawan memperhatikan perubahan dalam cara berpakaian St Fransiskus dan juga sengsara fisiknya, maka terungkaplah rahasia stigmatanya. Pada akhirnya, atas nasehat para rekan biarawan, St Fransiskus mulai membiarkan stigmatanya terlihat orang lain. St Fransiskus mengatakan, “Tak suatupun yang memberiku penghiburan begitu besar selain dari merenungkan hidup dan sengsara Tuhan kita. Andai aku hidup hingga akhir jaman, aku tak akan membutuhkan buku lain.” Sudah tentu, kasih St Fransiskus kepada Tuhan kita yang tersalib, yang diungkapkannya melalui perhatiannya kepada mereka yang malang dan menderita, mendatangkan karunia stigmata baginya.
St Katarina dari Sienna (1347-1380) , yang dianugerahi pengalaman-pengalaman mistik dan penglihatan-penglihatan sejak ia masih berusia enam tahun, juga dianugerahi stigmata. Pada bulan Februari 1375, ketika mengunjungi Pisa, ia ikut ambil bagian dalam Misa di Gereja St Kristina. Setelah menyambut Komuni Kudus, ia tenggelam dalam meditasi mendalam, sementara matanya menatap lekat pada salib. Sekonyong-konyong, dari salib datanglah lima berkas sinar berwarna merah darah yang menembusi kedua tangan, kaki dan lambungnya, mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa hebat hingga ia jatuh tak sadarkan diri. St Katarina dari Sienna menerima stigmata, yang hanya tampak olehnya saja, hingga sesudah akhir hayatnya.
Mungkin stigmatis yang paling termasyhur adalah St Padre Pio. Ia dilahirkan pada tahun 1887, dianugerahi penglihatan-penglihatan sejak umurnya masih lima tahun, dan sejak usia dini telah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya bagi Tuhan. Padre Pio masuk biara Kapusin Fransiskan pada tahun 1903 dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1910. Katanya, “Aku terbakar habis oleh kasih kepada Tuhan dan oleh kasih kepada sesamaku.”
Pada tanggal 5 Agustus 1918, Padre Pio mendapat penglihatan di mana ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak; sesudahnya luka akibat tikaman tombak itu tinggal pada tubuhnya. Kemudian, pada tanggal 20 September 1918, saat ia memanjatkan syukur sesudah perayaan Misa, ia juga menerima luka-luka Tuhan kita di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari, Padre Pio kehilangan sekitar satu cangkir darah; luka-luka itu tidak pernah menutup ataupun bertambah parah. Pula, bukannya bau darah, melainkan bau harum yang semerbak terpancar dari luka-lukanya.
Sepanjang hidupnya, Padre Pio memahami benar kedahsyatan sengsara Juruselamat kita akibat tangan-tangan mereka yang berada di dalam maupun di luar Gereja, juga akibat setan. Walau demikian, Padre Pio mengatakan, “Aku ini hanyalah suatu alat dalam tangan Tuhan. Aku berguna hanya jika dikendalikan oleh Penggerak Ilahi.” Stigmata tinggal dalam tubuh Padre Pio hingga akhir hayatnya. Paus Paulus VI berkata tentangnya, “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa? Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita.”
Tak banyak dari antara para kudus yang dianugerahi stigmata; dan mereka yang dianugerahinya, seperti St Fransiskus, St Katarina dan St Padre Pio, memahami secara mendalam sengsara Tuhan kita. Sementara stigmata mungkin membangkitkan rasa takjub kita, tanda itu sendiri dan mereka yang menderitanya hendaknya menjadi inspirasi bagi kita dalam mengejar persatuan yang lebih mesra dengan Tuhan kita, teristimewa dengan sering menerima Sakramen Tobat dan menyambut Ekaristi Kudus.
sumber : “Straight Answers: What Is the Stigmata?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
SEJUMLAH pemeluk Kristiani yang fanatik mengalami penderitaan sebagaimana dialami Kristus. Pada tubuh mereka tumbuh luka. Mereka berdarah. Mengapa demikian ? Apakah ini fenomena tentang stigmata ? Apakah mereka tidak kesakitan ? Masih banyak pertanyaan senada yang tersisa untuk dijawab.
Gemma Galgani adalah seorang anak yatim. Usianya 23 tahun dan berhasrat menjadi biarawati. Namun kehendak alam tidak mengijinkan dirinya menggenakan jubah putih itu. Dia menderita penyakit TBC tulang belakang. Dia menerima nasibnya dengan pasrah dan akhirnya bekerja sebagai pembantu rumaha tangga. Tapi Gemma tidak lupa pada cita-citanya. Dia tetap rajin berdoa dan sangat taat kepada Tuhannya. Suatu hari ketika sedang berdoa menjelang hari peringatan penyaliban Yesus Kristus, Gemma mengalami sebuah penglihatan yang mengubah jalan hidupnya. Keesokan harinya, saat membuka pintu kamar Gemma, ibunya menjerit ketakutan. Tangan dan pungung Gemma dipenuhi tanda seperti bilur-bilur luka dan pakaiannya basah oleh darah. Inilah gejala awal dimulainya Stigmata. Stigmata selalu terjadi pada hari Kamis dan menghilang dengan sendirinya keesokan harinya. Luka stigmata biasanya menutup pada hari Jumat dengan meninggalkan bekas berwarna keputih putihan.
Peristiwa ini terjadi pada 1901. Kasus Stigmata yang terawal diberitakan terjadi berabad-abad yang lalu yaitu pada tahun 1224. Santo Fransiskus dari Assisi mengalami Stigmata saat menjalani retret spritual (khalwat) di gunung Alvernia Itali. Namun sejak 1909 sudah banyak kasus Stigmata yang dilaporkan.
Seorang pemimpin agama berdarah Spanyol yang menunjuk dirinya Paus berkali-kali mengalami Stigmata dengan luka dibagian kepala seperti akibat memakai mahkota duri dan luka di lambung selama tahun 1970 an.
Pastor Pio Fortgione memperoleh Stigmata pada tahun 1915 di usianya yang ke28. Semenjak itu dia terus terus mengalami Stigmata sampai akhir hayatnya pada 1968.
Pastor Pio salah satu penerima Stigmata yang paling dihormati. Pada kedua telapak tangannya terdapat luka berbentuk lubang sehingga dia selalu mengalami kesakitan. Tapi Pastor Pio tidak pernah mengeluh sedikit pun karena daya tahan nya yang luar biasa.
Teresa Neumann, seorang Bavaria yang miskin menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan. Dia mengalami Stigmata di tahun 1926. Luka-luka muncul di daerah tangan, lambung, dan dahinya. Bobot badannya turun drastis. Sejumlah dokter yang memeriksanya heran melihat kenyataan itu. Dunia kedokteran lebih dikejutkan lagi dengan fakta aneh pada diri Theresia. Meskipun wanita itu tidak mengeluarkan sekresi (keringat, air seni, feces dsb.) dan sistim pencernaan nya rusak, dia bisa berumur panjang.
Cloretta Robinson seorang bocah seumur 10 tahun, mengalami Stigmata pada tahun 1972. Dia mampu hidup selama 19 hari setelah kejadian itu. Kasus ini menimbulkan banyak pertanyaan, sebab dia warga kulit hitam non Katholik yang mengalami Stigmata. Ada kasus lain yang tentang seseorang yang menangis darah yang dianggap sebagai tanda stigmata sesungguhnya.
Kasus-kasus Stigmata seperti ini terus terjadi bahkan hingga masa kini. Pertanyaan yang terbit berkaitan dengan ini, siapa orang-orang yang mengalami Stigmata itu sendiri?
Istilah Stigmata berarti luka yang diderita Yesus sejak dia ditangkap, diadili, dan disalibkan. Orang-orang yang mengalami Stigmata juga mengalami luka diberbagai bagian tubuh seperti Yesus. Darah sehat, bukan karena suatu penyakit. Luka-luka itu sering tetap menganga dalam waktu lama, tapi tidak mengalami infeksi. Dunia kedokteran semakin dipenuhi tanda tanya sebab luka-luka itu muncul dan menghilang dengan sendiri nya. Munculnya luka Stigmata diduga tergantung pada kondisi sadar hingga kondisi trance manakala si penerima stigmata mengalami penyatuan diri dengan penderitaan kristus. Stigmata biasanya terjadi pada masa paskah, pada hari hari besar gereja pada hari Jumat, terutama Jumat Paskah yang dikenal sebagai Jumat Agung.
Kasus Stigmata terutama terjadi di kalangan Gereja Katholik Roma. Gereja juga tidak mempunyai jawaban mendasar mengenai penyebabnya. Banyak percobaan dilakukan untuk menghadirkan Stigmata lewat hipnosis. Namun hasilnya justru malapetaka. Luka itu membuat kulit merah dan sekali terjadi pendarahaan. Selain itu, reaksinya bertolak belakang dengan stigmata yang sebenernya, dimana lukanya sembuh dengan sendirinya.
Begitulah, semua penjelasan itu masih belum mampu menguak misteri Stigmata hingga saat kini. Satu-satunya penjelasan yang mungkin bisa diterima, peristiwa Stigmata pastilah memiliki hubungan dengan pikiran bawah sadar penerima Stigmata dengan penyaliban Yesus Kristus. Apa penyebab sebenarnya tentu masih misteri. Muncul dan sembuhnya luka tetap merupakan keajaiban. Sejauh ini belum ada teori dalam ilmu kedokteran yang sanggup menjelaskan fenomena stigmata.
sumber : http://www.indospiritual.com/artikel_misteri-stigmata.html
Fenomena stigmata muncul dalam diri penerima luka-luka itu, dengan sobekan luka, di tubuh, yang mengingatkan ke lima luka (stigma) di tubuh Kristus, ditambah dengan mahkota duri. Luka-luka itu tidak bernanah dan darahnya murni. Stigmatisasi disertai dengan penderitaan fisik maupun moral yang luar biasa. Kejadiannya selalu di siang hari, untuk mengenang kesengsaraan Kristus.
Pertama kali muncul, mereka selalu didahului oleh berbagai gejala:
- hilangnya rasa di tengah telapak tangan, dan membukanya luka di bagian kiri beberapa hari sebelum terbukanya lima luka secara serempak, dst.-nya,...Setelah membuka di siang hari Jumat, tanggal 25 November, 1983, luka-luka tersebut sembuh secara total sekitar jam 23:00 tanpa meninggalkan satu bekaspun. Luka di sisi kirinya kecil, berukuran maximum sekitar 1.5 cm (sekitar setengah inci). Delapan orang dokter telah melihat stigmata tersebut, dan ada di antara mereka yang menyentuh dan merasakannya.
Kejadian kedua terjadi secara mendadak pada Hari Kamis Putih, tanggal 19 April, 1984 pada jam 15:30. Luka di sisinya cukup dalam. Pastor Malouli mengukurnya: 10 cm (4 inci). Seseorang mengusulkan kepada Nicolas untuk membawa istrinya ke rumah sakit agar lukanya dijahit. Jawabannya keluar secara lantang dan jelas: "Siapa yang telah membuka luka itu, akan menutup mereka.". Sekitar jam 23:00, semua luka itu tertutup kembali tanpa meninggalkan bekas.
Kejadian ketiga stigmata terjadi pada hari Kamis Putih, tanggal 16 April, 1987 di hadapan pastor Elias Zahloui dan pastor Joseph Malouli dan keduanya sempat melihat tetesan darah pertama yang menyembur keluar dari kening Myrna saat sebuah luka sobek untuk pertama kalinya. Luka di sisinya berukuran 12 cm (4.75 inci). Seorang biolog Prancis, Mrs. Geneviève Antakly mengukurnya, dan dia menyebut itu sebuah sayatan. Luka ini terbuka sekitas 10 menit setelah luka-luka lain dan pada keesokan harinya terus menutup secara total: dua dokter operasi yang berada di situ tidak sempat menyentuh mereka. Luka-luka yang harus diperiksa akhirnya butuh beberapa hari untuk sembuh. Luka-luka di kening, tangan dan kaki sembuh tanpa pengobatan atau plester. Tak ada yang pernah memakai diinfektan untuk membersihkan bekas lukanya.
Uskup Agung Ortodox- Yunani Mgr Stephanos Haddad, telah melihat stigmata pertama. Dia tinggal sekitar satu jam di sisi Myrna. Uskup Agung Katholik-Syria, Mgr Joseph Mounayer menyaksikan timbulnya stigmata kedua.
Pastor Nicholas Baalbaki, dokter operasi dan pastor Ortodox-Yunani telah melihat dan menyentuh stigmata ketiga. Setelah pembukaan stigmata ketiga, dua orang biolog Prancis, Geneviève dan suaminya Jean-Claude Antakly dan dua orang dokter operasi Louis Kawa dan George Mesmar, juga hadir. Dengan perkecualian dari stigmata pada hari Jumat, tanggal 25 November, 1983 (Aniversari pertama), ternyata bahwa stigmata itu hanya membuka waktu orang Katholik dan Ortodox merayakan Paskah bersama. Di tahun lainnya, tak ada kejadian, bahkan tidak ada satu tetes minyak pun, tidak pada waktu Paskah Katholik atau saat Paskah Ortodox.
Pada hari Kamis Putih 1990, stigmata itu membuka dalam tiga stasi:
pada jam 11:14 ke lima luka di kening,
pada jam 13:26 luka-luka di tangan dan kaki,
pada jam 13:31 luka di sisi berukuran 12 cm (4.75 inci).
Pertama kali muncul, mereka selalu didahului oleh berbagai gejala:
- hilangnya rasa di tengah telapak tangan, dan membukanya luka di bagian kiri beberapa hari sebelum terbukanya lima luka secara serempak, dst.-nya,...Setelah membuka di siang hari Jumat, tanggal 25 November, 1983, luka-luka tersebut sembuh secara total sekitar jam 23:00 tanpa meninggalkan satu bekaspun. Luka di sisi kirinya kecil, berukuran maximum sekitar 1.5 cm (sekitar setengah inci). Delapan orang dokter telah melihat stigmata tersebut, dan ada di antara mereka yang menyentuh dan merasakannya.
Kejadian kedua terjadi secara mendadak pada Hari Kamis Putih, tanggal 19 April, 1984 pada jam 15:30. Luka di sisinya cukup dalam. Pastor Malouli mengukurnya: 10 cm (4 inci). Seseorang mengusulkan kepada Nicolas untuk membawa istrinya ke rumah sakit agar lukanya dijahit. Jawabannya keluar secara lantang dan jelas: "Siapa yang telah membuka luka itu, akan menutup mereka.". Sekitar jam 23:00, semua luka itu tertutup kembali tanpa meninggalkan bekas.
Kejadian ketiga stigmata terjadi pada hari Kamis Putih, tanggal 16 April, 1987 di hadapan pastor Elias Zahloui dan pastor Joseph Malouli dan keduanya sempat melihat tetesan darah pertama yang menyembur keluar dari kening Myrna saat sebuah luka sobek untuk pertama kalinya. Luka di sisinya berukuran 12 cm (4.75 inci). Seorang biolog Prancis, Mrs. Geneviève Antakly mengukurnya, dan dia menyebut itu sebuah sayatan. Luka ini terbuka sekitas 10 menit setelah luka-luka lain dan pada keesokan harinya terus menutup secara total: dua dokter operasi yang berada di situ tidak sempat menyentuh mereka. Luka-luka yang harus diperiksa akhirnya butuh beberapa hari untuk sembuh. Luka-luka di kening, tangan dan kaki sembuh tanpa pengobatan atau plester. Tak ada yang pernah memakai diinfektan untuk membersihkan bekas lukanya.
Uskup Agung Ortodox- Yunani Mgr Stephanos Haddad, telah melihat stigmata pertama. Dia tinggal sekitar satu jam di sisi Myrna. Uskup Agung Katholik-Syria, Mgr Joseph Mounayer menyaksikan timbulnya stigmata kedua.
Pastor Nicholas Baalbaki, dokter operasi dan pastor Ortodox-Yunani telah melihat dan menyentuh stigmata ketiga. Setelah pembukaan stigmata ketiga, dua orang biolog Prancis, Geneviève dan suaminya Jean-Claude Antakly dan dua orang dokter operasi Louis Kawa dan George Mesmar, juga hadir. Dengan perkecualian dari stigmata pada hari Jumat, tanggal 25 November, 1983 (Aniversari pertama), ternyata bahwa stigmata itu hanya membuka waktu orang Katholik dan Ortodox merayakan Paskah bersama. Di tahun lainnya, tak ada kejadian, bahkan tidak ada satu tetes minyak pun, tidak pada waktu Paskah Katholik atau saat Paskah Ortodox.
Pada hari Kamis Putih 1990, stigmata itu membuka dalam tiga stasi:
pada jam 11:14 ke lima luka di kening,
pada jam 13:26 luka-luka di tangan dan kaki,
pada jam 13:31 luka di sisi berukuran 12 cm (4.75 inci).
sumber : http://www.soufanieh.com/INDONESIAN/id_stigma.htm



No comments:
Post a Comment